Dalam hidup ini, kita pasti pernah dipertemukan dengan orang-orang mulia; orang yang begitu dekat dengan Allah Ta’ala sehingga membuat iri kita. Sebaliknya, kita pun pernah dipertemukan dengan orang yang tidak tahu tujuan hidupnya; ia menghabiskan umur dalam kesia-siaan dan melakukan berbagai dosa yang mendatangkan murka sang Pencipta semesta raya. Bertemu dengan tipe orang pertama, kita harus ‘ghibthah’ terhadap ilmunya yang membuatnya semakin bertakwa kepada Allah, dan bertemu dengan jenis orang kedua, kita membenci sebatas kemaksiatan yang ia lakukan, tanpa menyebar-luaskan aibnya, melanggar kehormatannya, menghina dosanya, mengungkapkan kemaksiatan yang dilakukannya.
Sikap kita ketika bertemu atau mendengar tentang tipe orang kedua sepertinya perlu kita pelajari bersama, agar di kemudian hari tidak menyebabkan kita diuji dengan dosa yang semisalnya. Kenapa? Karena itulah yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda mengingatkan kita sebagai bukti cintanya,
لَا تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لِأَخِيْكَ، فَيُعَافِيَهُ اللهُ وَيَبْتَلِيَكَ
“Janganlah kamu menampakkan cacian kepada saudaramu, lalu Allah menyelamatkan dia dan balik mengujimu.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr-nya (22/53), hadits nomor 127, dan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (4/662), hadits nomor 2506, tapi lafazh dari At-Tirmidzi adalah, “Lâ tuzhhirisy syamâtata li akhîka, fa yarhamuhullâhu wa yabtaliyaka, janganlah kamu menampakkan cacian kepada saudaramu, lalu Allah merahmatinya, dan balik mengujimu. Dan hadits ini dikomentari oleh At-Tirmidzi sebagai hadits hasan gharib.
Karena urgensitasnya yang tinggi, hadits ini juga dicantumkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Shifatush Shafwah, dan dimasukkan dalam buku ringkasannya, Ensiklopedi Hikmah dalam urutan riwayat ke-sepuluh.
Makna Hadits
Makna Asy-Syamatah, atau cacian, sebagaimana yang disebutkan oleh penulis Tuhfatul Ahwadzî, adalah perasaan senang dengan bencana yang menimpa orang yang membencimu, atau engkau benci kepadanya. Namun, menurut penulis, sebetulnya ini berlaku umum; menunjukkan perasaan senang, menampakkan kebahagiaan, dan mencaci maki dengan lisan, atau dengan hati, dengan berlebihan.
Wa yabtalîka, menurut Al-Munawi dalam Faidhul Qadir, adalah engkau menyucikan dirimu dan meninggikan derajatmu. Seolah-olah beliau menjelaskan bahwa dosa yang dilakukan orang lain adalah bukti kebaikan dan kemuliaan diri sendiri. Jadi, ada perasaan ujub yang menyusup dalam hatinya. Ini tentu berbahaya. Karenanya, lanjut Al-Munawi mengingatkan, “Asy-Syamatah kepada musuh -saingan, adalah bahaya yang sangat, maka berhati-hatilah.”
Hal ini, sekali lagi perlu diwaspadai, karena menurut As-Suyuthi, Abdul Ghani dan Ad-Dahlawi dalam Syarh Sunan Ibnu Majah, mereka menyebutkan perihal hadits ini bahwa di dalam hadits ini ada hukuman dari dua arah; pertama, ia akan diuji dengan bencana dosa (yang dicacinya –dengan melakukan dosa yang sama-), dan kedua, (dosanya) akan ditampakkan di hadapan manusia, sekalipun ia berusaha menyembunyikannya terhadap dirinya sendiri. Kemudian mereka mengingatkan, “Wa qad jarraba hâdzal amru mirâran,hal ini sudah terbukti berulang kali.” Artinya, orang yang mencaci dosa para durjana, apalagi pelakunya sudah bertaubat darinya, berpotensi akan diuji Allah dengan dosa yang sama, sebelum ia meninggal dunia.
Beratnya Mencaci Dosa
Ada kisah menarik terkait ungkapan yang masyhur pada masa imam Malik, yaitu “Lâ yuftâ wa Mâlik fil Madînah, tidak boleh ada fatwa yang keluar selama imam Malik ada di Madinah. Ungkapan ini populer di kalangan ahlul ilmi, dan disepakati oleh mereka. Kekata di atas, menurut Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dalam bukunya, I’ânatul Mustafîd bi Syarhi Kitâbit Tauhîd (2/44), merupakan bukti kedudukan beliau yang agung, dan kepercayaan manusia kepadanya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepadanya.
Awal mula ungkapan ini berasal dari kisah yang ganjil, dan aneh. Kisah yang sanad (baca : perawi) nya sebetulnya lemah, tapi tidak mengapa dipaparkan dengan tujuan untuk menghambil hikmahnya saja ; bahwa mencaci dosa adalah sebuah kesalahan, yang bisa menyebabkan si pencela dihukum Allah dengan melakukan dosa yang sama. Karena memang, kalau kisah dalam sejarah Islam diteliti sebagaimana hadits, maka ribuan kisah akan hilang. Tersebab sanadnya yang lemah. Bukan matannya. Sebagaimana kisah tentang penganuliran had potong tangan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab, sebagaimana yang sudah penulis teliti, adalah bersanad lemah. Tetapi kebenaran kisah itu tidak diragukan lagi; memang betul-betul terjadi, karena banyaknya ahli sejarah, dan juga ahli fikih yang mencantumkan kisah tersebut. Maka, kita tidak mempermasalahkan kisah yang terjadi pada masa Imam Malik ini, sekalipun, sekali lagi sanadnya lemah.
Kisah itu bercerita tentang seorang wanita Madinah yang meninggal dunia. Lalu, didatangkanlah wanita yang biasa memandikan jenazah. Singkat kata, ketika tengah mengguyurkan air untuk memandikan jasad jenazah tersebut, ia kemudian mengguyur air ke kemaluannya. Tiba-tiba ia menyebut mayat dengan kata-kata yang jelek, “Duhai, betapa banyak kemaluan ini berzina?.” Tetapi apa yang terjadi? Apakah ia dibiarkan begitu saja, sekalipun orang yang dituduh berzina adalah mayit? Lantas, apa yang terjadi kemudian? Tiba-tiba saja, tangan wanita yang memandikan itu menempel di tubuh si jenazah –tepatnya di kemaluannya. Seolah ada magnet yang kuat menariknya, hingga ia tidak kuasa dan mampu untuk menggerakkan tangannya. Ia pun menutup pintu agar tidak ada seorang pun yang melihat kejadian tersebut.
Tapi keluarga si jenazah ada di luar ruang pemandian jenazah. Mereka menanti untuk mengafani si jenazah. Mereka pun bertanya, “Apakah kami berikan kain kafannya?” si pemandi jenazah menjawab, “Sebentar lagi!.” “Apakah kami berikan kain kafannya?” “Sebentar!!.” Tetapi salah satu kerabat jenazah pun memaksa masuk, dan mendapati pemandangan yang seperti itu; tangan pemandi jenazah menempel di tubuh jenazah.
Akhirnya, mereka mendatangkan para ulama. Di antara mereka berkata, “Tangan si pemandi mayit harus dipotong, agar mayit bisa dikuburkan, karena menguburkan jenazah adalah wajib.” Ulama yang lain berkomentar, “Bahkan, kita iris saja tubuh si jenazah, agar bisa membebaskan si pemandi jenazah. Karena orang yang masih hidup lebih diutamakan daripada orang yang sudah mati.” Semua jawaban tak elok.
Perdebatan pun semakin tajam. Para ulama bingung dalam memberikan solusi terhadap masalah yang tengah mereka hadapi; apakah mereka memotong tangan si pemandi jenazah, atau mengiris bagian tubuh jenazah. Akhirnya, mereka pun bertanya kepada Imam Malik bin Anas –Radhiyallahu anhu, “Aih, kenapa kita berselisih, padahal di tengah kita ada Imam Malik?” mereka pun pergi menghadap Imam Malik, dan menanyainya. Imam Malik pun segera datang ke lokasi. Dan bertanya kepada si pemandi jenazah dari balik hijab, “Apa yang telah engkau katakan tentang si jenazah?” “Wahai Imam, aku telah melontarkan tuduhan zina kepadanya.” Jawabnya. Imam Malik pun memberikan jawaban dengan menitikkan air mata, “Ma’adzallâh, betapa beratnya dosa menuduh berzina.” Kemudian beliau memerintahkan agar beberapa wanita masuk menemui wanita si pemandi jenazah, dan menderanya delapan puluh kali. Sebagai pengamalan terhadap surat An-Nûr ayat : 4.
Si pemandi jenazah pun didera delapan puluh kali. Pada deraan ke tujuh puluh sembilan, tangannya belum bisa terlepas juga. Dan ketika, deraan yang ke delapan puluh, barulah tangan itu terlepas. Sejak kejadian itulah, masyhur ungkapan, Lâ yuftâ wa Mâlik fil Madînah.”
Sungguh, kita belajar banyak dari kisah ini. Bahwa, selain zina sebagai perbuatan, ada dosa yang juga dikategorikan sebagai dosa besar, yang sering diremehkan; qadzaf, menuduh zina tanpa bukti, dan tanpa 4 saksi.
Walaupun ma’ruf; sudah jadi rahasia umum bahwa jenazah itu dulunya, pezina, tapi syariat Allah berlaku pada dakwaan; mana 4 saksi? Maka, melanggar kehormatan sesama, menghina dosa yang diperbuatnya, dan mengungkap aibnya adalah perbuah yang seyogianya dijauhi. Ini berlaku pada yang hidup dan mati.
Pada si hidup, si penghina dosa akan membantu syetan dalam menjerumuskan si pendosa sehingga ia berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Inilah yang dilakukan Umar bin Khattab ketika menyadarkan seorang pemuda yang dikenal sebagai peminum khamer. Kata beliau,“Beginilah cara menasehatinya, maka ingatkanlah saudara kalian yang berbuat khilaf, lalu tutupilah dan beritahukanlah kesalahan-kesalahannya –secara rahasia. Berdo’alah kepada Allah agar Allah memberi taubat kepadanya dan janganlah kalian menjadi penolong-penolong syetan untuk membinasakan saudara kalian.”, dan kita juga belajar dari kisah taubatnya si pembunuh seratus nyawa; jangan seperti si abid yang tertipu dengan pembunuhan 99 nyawa, bukan kata tulusnya; taubat. Maka, jangan menjadi pembantu syetan dalam menjerumuskan saudara hingga ia berputus asa dari rahmat-Nya.
Dan pada si mati, juga tidak boleh; siapa kita hingga memasti dosa, dan menghakimi??
Imam Ahmad mengeluarkan sebuah riwayat bahwa Wahab bin Munabbih berkata, “Sesungguhnya ada seorang musafir yang memasuki sebuah desa. Ternyata ada seorang lelaki dari pembesar desa tersebut yang meninggal dunia. Lalu ia keluar desa tersebut sembari berkata, “Aku tidak akan menguburkan diktator ini.” Kemudian dia tertidur sejenak, lalu ada seseorang yang mendatanginya seraya berkata, “Wahai fulan, apakah engkau memiliki sesuatu dari rahmat Allah?” ia menjawab, “Tidak” lelaki itu bertanya hingga tiga kali, dan tiga kali pula ia menjawab tidak. Lalu lelaki itu berkata, “Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada waktu sakitnya orang ini.” (Az-Zuhd, hlm. 141, dalam Mutiara Zuhud). Karena bisa jadi, ia sudah bertaubat kepada Allah, sebelum ajal menjemputnya. Dan ini termasuk salah tanda Allah menginginkan kebaikan kepadanya; memberinya taufik untuk beramal shalih sebelum matinya. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Bisa Jadi Allah Balik Mengujimu
Kita, sangat-sangat mengkhawatirkan kalau-kalau kita mencaci-maki seseorang karena dosanya, Allah balik menguji kita dengan dosa yang sama, sebelum kita meninggal dunia. Hadits Nabi di awal tulisan dikuatkan oleh Imam Ahmad, yang menulis kekata Hasan Al-Bashri, “Kunna nuhaddats, annahu man ‘ayyara akhâhu bi dzanbin qad tâba minhu, ibtalâhullahu ‘azza wa jalla bihi, kami diberitahu bahwa sesiapa yang merendahkan saudaranya lantaran dosa padahal ia sudah bertaubat kepada Allah, maka Allah Azza wa Jalla akan bali mengujinya dengan dosa yang sama, -sebelum ia meninggal dunia.” Dan, ini sudah banyak terbukti, berkali-kali, sebagaimana dijelaskan di makna hadits.
Pengujian dengan apa yang kita ucapkan berupa cacian kepada saudara ternyata tidak hanya berupa dosa, tetapi juga hal-hal yang lainnya. Syaikh Nashir bin Sulaiman Al-Umar, dalam bukunya Buyûtun Muthmainnah, menceritakan sebuah kisah keluarga. Ada seseorang yang melihat anak yang sedemikian nakalnya. Ia gemas, dan geram dengan anak tersebut, sehingga ia mengadukannya kepada si ayah. Kenapa sedemikian nakalnya. Ayah dari anak tersebut menjawab, “Janganlah engkau mencelaku karena kenakalan anakku. Sungguh aku sudah berusaha mendidiknya dengan sebaik-baiknya, tetapi ia tetap begitu. Bahkan, aku pernah memukulnya hingga tangannya patah.” Pada intinya, sang ayah sudah berdaya-upaya mendidik anaknya, tapi tetap tidak bisa. Dan tahu apa kesudahannya?, ternyata lelaki yang mencela si ayah anak tadi melakukan hal yang sama; ia, karena melihat anaknya yang mungkin nakal, memukul anaknya, hingga patah.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Jemmymirdad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar