Sering kita bimbang dalam menentukan sesuatu, memilih jalan
ataupun bahkan memilih seseorang. ..Dan kebimbangan itu menjadikan kita sebagai
manusia yang serba salah. kebimbangan itu muncul karena ada ketakutan akan hal
tersebut.
Dan tahukah engkau, ketakutan yang kita alami bersumber dari
keraguan dan ketidakyakinan akan hal yang kita takuti. rasa ragu tersebut
lambat laun menjadi sebuah ketakutan, sehingga menjadikan kita bimbang untuk
memilih mana yang lebih baik.
Jika kamu masih merasa memiliki keyakinan untuk melakukan atau
kepada sesuatu maka lakukanlah. selagi keyakinan itu bersemi mesra di dalam
relung jiwamu tak ada yang lebih baik kecuali engkau melakukannya..
Sebaliknya, jika yang ada hanya keraguan dalam dirimu, maka
tinggalkanlah apapun itu. karena tidak ada kebaikan dari sesuatu yang jika
engkau melakukannya dengan sebuah keraguan…
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
[رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح]
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu
‘anhuma telah berkata: “Aku telah menghafal (sabda) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu,
bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu“. (HR.
Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
PENJELASAN
Perawi Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hasan putra Ali bin Abi Tholib radhiyallaahu
‘anhuma, cucu
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wasallam.Beliau dinyatakan oleh Nabi :
ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ
فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Putraku (cucuku) ini adalah pemuka (sayyid), dan semoga Allah
akan mendamaikan dengan sebabnya 2 kelompok kaum muslimin (H.R al-Bukhari)
Terbukti, sikap beliau yang mau mengalah dan menyerahkan
kekuasaan kepada Muawiyah menyebabkan 2 pasukan besar: dari Iraq dan pasukan
dari Syam berdamai dan tidak terjadi pertumpahan darah.
Ketika Nabi meninggal, al-Hasan bin Ali masih berumur 7 tahun.
Meninggalkan hal-hal yang masih samar kehalalannya
Hadits ini merupakan dalil yang memberikan panduan bagi muslim
untuk meninggalkan hal-hal yang masih samar (syubhat) dan meragukan. Sebagai
contoh, jika ada suatu makanan atau harta yang kita ragu kehalalannya, maka
tinggalkanlah, hingga kita yakin akan halalnya.
Semakna dengan hadits:
فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
Barangsiapa yang menjaga diri
dari syubuhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya (H.R
alBukhari)
Keyakinan dalam Berbuat dan
Kelapangan Jiwa
Seorang
muslim membangun keyakinan dalam hatinya ketika berbuat. Karena itu, ia
kokohkan ilmunya sebelum berbuat, sebab ilmu adalah landasan amal. Jika ada
yang tidak ia pahami, ia tanyakan kepada orang yang berilmu sehingga ia mantap
untuk beramal di atas keyakinan. Semakin bertambah keilmuan seseorang, semakin
berkurang jumlah hal-hal yang meragukannya dalam syariat.
Ia juga tidak mau larut pada kasak-kusuk maupun isu yang tidak
jelas jika ada saudaranya yang dicurigai. Ia akan melakukantabayyun secara
beradab hingga ia mendapat kepastian dan keyakinan dalam berbuat. Segala bentuk
keraguan ia tinggalkan.
Ia akan berusaha bersikap jujur dan menjauhi
kedustaan, karena kejujuran akan mewariskan ketenangan, sedangkan kedustaan
menghasilkan kebimbangan dan ketidaktenangan.
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Sesungguhnya kejujuran adalah
ketenangan dan dusta adalah keraguan (H.R atTirmidzi, lanjutan potongan hadits
al-Hasan di atas).
Jika ia ragu pada sebuah pilihan, ia akan bermusyawarah dengan
orang yang ahli dan sholih kemudian beristikharah kepada Allah.
Penyebab
kegalauan hati dan kebimbangan yang utama adalah kesyirikan. Seorang yang
syirik, akan terombang-ambing dalam ketakutan dan ketenangan yang semu.
Ketakutannya akan semakin menjadi-jadi ketika ia semakin bergantung kepada
selain Allah.
Sebagai contoh, seorang yang minta tolong kepada Jin,
maka ikatannya akan semakin kuat dan bertambah kuat. Semakin bergantung kepada
pertolongan jin itu, semakin bertambah dosa dan ketakutannya
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ
الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Dan bahwasanya ada beberapa
manusia laki-laki meminta perlindungan kepada laki-laki Jin sehingga menambah
kepada mereka ketakutan (Q.S al-Jin: 6)
Demikian juga orang yang menggunakan jimat, semakin bergantung
pada jimat tersebut, semakin tidak tenang jiwanya
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ
تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ اللَّهُ لَه
Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah
tidak menyempurnakan keinginannya, barangsiapa yang menggantungkan wada’ah
(sejenis jimat), semoga Allah tidak memberikan ketenangan padanya (H.R Ahmad,
dishahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahaby, al-Haitsamy menyatakan
bahwa perawi-perawinya adalah terpercaya, al-Munawi menyatakan bahwa sanadnya
shahih)
Orang yang tidak beriman
penuh dengan keragu-raguan dalam jiwanya
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ
يَتَرَدَّدُونَ
Sesungguhnya yang akan meminta
idzin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-raguannya (Q.S atTaubah:45)
Kaidah Fiqh: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan
Salah satu kaidah fiqh yang dibangun dari dalil-dalil al-Quran
dan hadits adalah : al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syak (keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan). Hadits
ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil yang mendasari kaidah tersebut,
untuk meninggalkan keraguan menuju hal yang meyakinkan.
Sebagai contoh, jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu’
lagi atau belum setelah sebelumnya batal, maka yang dijadikan patokan adalah
kepastian bahwa ia sudah batal. Yang meragukan adalah berwudhu’ lagi. Keraguan
tersebut tidak diperhitungkan. Maka ia harus berwudhu’ lagi.
Sebaliknya, dalam kasus yang lain: jika ia ragu apakah sudah
batal wudhu’ atau belum, maka yang diambil adalah keyakinan bahwa ia masih
suci. Batalnya wudhu’ berdasarkan keraguan. Maka persangkaan batal wudhu’ itu
hendaknya ditinggalkan, karena berdasar keraguan. Ia tidak wajib berwudhu’ lagi
kecuali jika ia ingin berwudhu’ untuk mendapatkan keutamaan, karena tidaklah
seorang berwudhu’, kecuali akan berjatuhan dosa-dosanya ketika air wudhu’
berjatuhan dari jari jemarinya. Berbeda halnya jika ia yakin bahwa wudhu’nya
sudah batal, maka ia wajib berwudhu’ jika akan sholat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar