Ada banyak catatan yang mesti
diperhatikan oleh seorang anak selepas menikah. Baik ia sebagai anak
perempuan maupun laki-laki. Khusus bagi laki-laki, ada penekanan dalam
hal ini. Sebab, hingga kapan pun, surga bagi seorang anak letaknya ada
pada kaki ibunda.
Selain itu, selepas menikah, bakti
seorang anak sama sekali tak otomatis terputus dengan alasan telah
memiliki keluarga sendiri. Dalam hal ini, penting kiranya bagi kedua
pasangan dan keluarga terdekat untuk saling mengingatkan.
Jangan sampai kisah ini terjadi antara
diri dan ibu kita. Sebuah kisah haru nan memilukan ini, patut dijadikan
cermin bagi kehidupan kita; sebagai anak maupun orangtua.
Sebutlah namanya Fulan. Sudah 21 tahun
ia menikah dengan seorang wanita bernama Fulanah. Tepat di usia ke 21
pernikahannya, sang istri bertanya menawarkan, “Mas, tak berkenankah kau
makan malam bersama seorang wanita?” Sang suami yang memang tak
memiliki saudara dan anak wanita itu bertanya kebingungan, “Maksudmu?”
Lantas dijelaskanlah oleh sang istri,
“Esok, keluarlah untuk makan malam bersama ibu.” Aduhai, rupanya Fulan
ini amat sibuk mengurusi keluarga, pekerjaan dan kehidupannya. Lanjut
Fulanah, “Sudah 21 tahun –sejak menikah denganku- kau tak pernah makan
malam bersama ibu,” katanya menerangkan, “Teleponlah beliau, ajaklah
makan malam. Beliau pasti amat mendambakan kebersamaan denganmu.”
Segeralah Fulan menelepon sang ibu.
Dalam perbincangan udara itu, disampaikanlah maksudnya. Sang ibu yang
telah lama menjanda dan hidup bersama keluarga lainnya itu amat
sumringah mendengar ajakan itu. Meskipun, ada rasa tak percaya akan
ajakan mengagetkan dari anak yang amat disayanginya. Pasalnya, masa 21
tahun bukanlah bilangan waktu yang sebentar.
Hari yang direncanakan pun menyapa.
Fulan menuju rumah ibunya. Sesampainya di depan rumah sang ibu, sosok
janda yang sudah lama mendambakan kebersamaan bersama anaknya itu tengah
menunggu, tepat di rahang pintu. Tak ingin diketahui oleh saudaranya
yang lain, sang ibu langsung menyambut, menghampiri dan bergegas masuk
ke dalam mobil.
Di dalam mobil, terjadilah perbincangan
kecil antara keduanya. Tentang rumah makan dan menu terbaik yang hendak
mereka tuju dan santap malam ini. Tak lama, tibalah mereka di tempat
makan terbaik di kota itu.
Lamat-lamat, sang anak memerhatikan
pakaian yang dikenakan oleh ibunya. Agak sempit. Rupanya, itu adalah
pakaian terakhir yang diberikan oleh almarhum suaminya. Duhai, sang anak
ini sampai lupa membelikan pakaian untuk ibunya.
Maka datanglah pelayan pembawa menu.
Disodorkanlah daftar makanan yang hendak dipesan. Ternyata, sang ibu
sudah tak kuasa membaca. Dengan senyum, Fulan menawarkan, “Aku bacakan
menunya. Tunjuk saja menu apa yang Ibu kehendaki.”
Lantas dipesanlah aneka jenis makanan yang dihidangkan, tak lama kemdian.
Lantas dipesanlah aneka jenis makanan yang dihidangkan, tak lama kemdian.
Bersebab bahagianya yang memuncak
lantaran diajak makan malam oleh anak kesayangannya, selera makan sang
ibu tenggelam seketika. Sama sekali tak berminat untuk mencicipi,
apalagi melahapnya. Sosok yang sudah hampir terbenam masa hidupnya itu
hanya memerhaikan anaknya, dengan cinta dan rindu yang kian bertambah.
Di tengah menikmati menu makan malamnya,
Fulan berkata, “Bu, ini yang pertama sejak 21 tahun yang lalu. Maafkan
anakmu ini. Esok kita akan makan malam lagi untuk yang kedua.”
Mendengar kalimat itu, mata sang ibu
berbinar sumringah. Binar bahagia itu semakin bertambah hingga kedua
insan itu pulang. Sang anak mengantarkan ibunya ke kediamannya,
sementara ia kembali ke rumahnya.
Waktu-waktu selepas itu, adalah waktu
menuggu nan membahagiakan bagi sang ibu. Ditungguilah ponselnya guna
berharap panggilan dari anaknya. Sementara itu, di belahan tempat lain,
sang anak tetap sibuk dengan dunia, pekerjaan dan kehidupannya. Ia,
benar-benar lupa dengan janji yang diungkapkannya sendiri.
Lantaran usia yang menua, sang ibu pun
sakit. Makin hari, bertambah parah sakitnya. Alasan sibuk pun membuat
Fulan tak kunjung membesuk ibunya. Hingga akhirnya, wanita berhati
lembut itu wafat sebelum sang anak sempat menjenguknya.
Proses pemakaman pun berlangsung dengan
lancar. Ada haru nan pilu yang menelisik ke dalam hati Fulan. Perasaan
bersalah selalu datang belakangan. Andai perasaan itu bisa datang lebih
dulu, mungkin saja ia akan bisa menebus dosanya.
Lepas pulang dari pemakaman, ponselnya
bergetar. Diangkatklah oleh si Fulan. Tertera dalam layar, pemanggil
adalah ruma makan tempat ia dan ibunya makan malam tempo hari. “Halo,
Pak Fulan,” ucap suara dari seberang. Lepas disahut, penelepon
melanjutkan, “Maaf, Pak. Dalam catatan kasir kami, bapak telah memesan
tempat makan malam untuk dua orang. Tagihannya suda dibayar oleh Ibu
anda.”
Entahlah apa yang dirasa olehnya. Tanpa
penutup, dimatikanlah ponselnya sembari bergegas menuju rumah makan
tersebut. Sesampainya di sana, sang kasir menyerahkan sebuah pesan
tertulis tangan. Dari sang ibu. Tertera di dalamnya, “Nak, aku mengerti.
Malam ini adalah makan malam terakhir kita. Meski kau sampaikan akan
ada yang kedua, aku tak terlalu yakin. Maka, makanlah bersama istrimu.
Aku sudah membayarnya untumu dengan uang Ibu.”
“Ibu, Ibu, Ibu,” demkianlah pesan
Rasulullah Saw. Sosok mulia itu harus didahulukan dari sosok bapak.
Sosok ibu adalah mutiara kebaikan nan tak tergantikan. Selalu ada
mutiara yang bisa digali darinya. Pasti ada hikmah dari wanita yang
mungkin saja, sudah kita sia-siakan sejak lama.
Rabbi, ampuni dosa kami, dosa bapak dan
ibu kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami di
masa belia. [Pirman]
*Disadur bebas dari buku 1001 Alasan Kamu Harus Sayangi Ibumu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar