Afwan (maaf) Ukhti[1], semoga ini tidak melukai Anti [2] dan keluarga Anti . Ana [3] pikir sudah saatnya Ana memberi keputusan tentang “proses” kita. Ya…, seperti yang Anti ketahui bahwa selama ini Ana telah berusaha melobi orang tua dengan beragam cara mulai dari memahamkan konsep nikah “versi” kita, memperkenalkan Anti pada mereka hingga melibatkan orang yang paling ayah percaya untuk membujuk ayah agar mengizinkan Ana untuk menikahi Anti .”
“Namun hingga sekarang nggak ada tanda-tanda mereka akan melunak, jadi menurut Ana…, sebaiknya Ana
mundur saja dari “proses” ini!” Dana diam sejenak untuk menunggu respon
dari seberang, tapi hingga beberapa detik tidak ada tanggapan. “Perlu Anti ketahui bahwa orang tua Ana sebenarnya sudah tidak keberatan dengan Anti hanya saja Timing-mya (waktu) belum tepat. Ayah Ana khawatir Ana tidak mampu menafkahi Anti jika belum bekerja. Apalagi Anti juga masih kuliah. Jadi Ana rasa, ahsan (lebih baik) kita nggak komitmen dulu hingga keadaannya membaik! Anti nggak keberatan kan Ukhti?”
“Keberatan…? Alhamdulillah nggak! Namun kalau Ana
boleh kasih saran, apa tidak lebih baik kalau kita terus melobi sambil
tetap proses saja. Soalnya kan kita sudah mantap satu sama lain, nggak
enak kalau mundur di saat seperti ini. Apalagi permasalahannya sudah
mulai mengerucut ke arah ma’isyah (penghasilan) saja.
“Anta [4] pasti masih ingat gimana sulitnya awal
kita membujuk orang tua, rasanya semua kriteria kita ditolak. Segala
keterbatasan kita jadi aib yang sangat besar, pokoknya semua jalan
sepertinya sudah tertutup rapat. Namun kenyataannya hanya dalam waktu 2
minggu kita bisa menghilangkan semua syarat menjadi satu syarat saja:
PEKERJAAN!”
Dini, gadis tegar itu akhirnya bicara juga. “Akhi [5]…,kita hanya tinggal selangkah, tetaplah ber-ikhtiar dan jangan putus asa. Bukankah Allah Maha membolak-balikkan hati?”
“Benar, Ana paham soal itu, Ana memang akan tetap melobi orang tua Ana, akan tetapi kalau kita terikat, Ana khawatir menghalangi Anti proses dengan ikhwan lain yang lebih selevel dibanding Ana. Lagi pula Ana khawatir tidak bisa menjaga hati”.
“Takut menghalagi Ana untuk proses dengan ikhwan lain? Itu kan urusan Allah bukan urusan Anta! Kewajiban Anta sekarang adalah berjuang mempertahankan sesuatu yang Anta sudah mantap dengannya. Hasil istikharah itu nggak mungkin salah. Tinggal bagaimana cara kita mengaplikasikannya saja.”
Hening sejenak….
“Ya….tapi kalau memang Akhi sudah merasa syak (ragu) terhadap Ana dan mantap untuk mundur, Alhamdulillah. InsyaAllah Ana akan dukung sepenuhnya”.
“Nggak!!” Reflek Dana berteriak.
“Astaghfirullahaladzim, Afwan (maaf) maksud Ana, Ana sama dengan keluarga Ana sudah tidak syak pada Anti , kami sangat menyukai Anti dan keluarga Anti . Selain itu Ana juga takut perasaan ini semakin mendalam, Ana ini hanya hamba yang dhaif (lemah) yang masih kesulitan mengekang hawa nafsu”.
Dana berhenti lagi, dadanya terasa sesak, air matanya
mengalir semakin deras. Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia merasa
malu pada Allah atas kelalaiannya, jatuh cinta!
“Halo…!!” Dini merasa Dana diam terlalu lama. Dia tidak
tahu kalau pemuda itu sedang menangis. Tapi dia mengerti apa yang sedang
terjadi padanya. “Ya udah…, kalau begitu sekarang kita sepakat untuk
membatalkan “proses” ini!!! Setelah ini insyaallah kita tidak akan lagi berhubungan kecuali untuk keperluan syar’i yang sangat darurat, iya kan?”
Dini sengaja memberi jeda agar Dana bicara, tapi ikhwan itu memilih terus diam “Akhi …kita
tetap baik ya! Hubungan dengan keluarga harus tetap dijaga, jangan
suudzdzon pada ayah dan bunda karena bisa jadi keputusan mereka adalah
salah satu dari jalan Allah untuk menguji kita”. Dini berhenti lagi tapi
Dana masih enggan berkomentar.
“Laa Tahzan, ya Akhi …, insyaallah kalau
kita niatkan semuanya demi keridhaan Allah, maka Dia akan mencatat bagi
kita pahala yang besar. Afwan jika selama proses ta’aruf ini…Ana, teman-teman, dan keluarga Ana banyak melakukan kekhilafan. Ana mewakili mereka dan diri Ana sendiri untuk memohon maaf pada Anta.
Bersabarlah karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar…”
Samar, Dini mendengar isak tangis di seberang. Dia nyaris tidak percaya…
“Semoga ini bisa menjadi mahar cinta kita pada Allah dan semoga Akhi mendapat ganti yang lebih baik…’ Amin.”
Suara isak tangis makin terdengar jelas.
“Akhi …kalau sudah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, tafadhal (silahkan) diakhiri!”
Tidak ada tanggapan.
“Halo…!!?. Ya udah, kalau gitu biar Ana yang tutup telponnya, ya…?”
Sepi.
“Assalamualaikum!” “Klik”.
Percakapan diantara mereka berakhir, tapi Dana baru
menyadarinya. Dia segera bergegas wudhu dan shalat. Jujur, sebenarnya
dia sudah sangat mantap dengan mantan calon istrinya itu…Namun dia tidak
yakin dapat membahagiakan akhwat itu kalau dirinya belum bisa menafkahi dengan layak.
Padahal Dini dan keluarganya tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sangat wellcome padanya. Ah…,mungkin ini sudah takdirnya. Mungkin Allah melihat bahwa akhwat itu terlalu baik utnuk dirinya. Mungkin seharusnya akhwat sekaliber dia, mendapatkan ikhwan yang jauh lebih baik dari dirinya. Dia benar-benar merasa tidak level!!
“Ya…, ikhwan lemah sepertiku, mana mungkin
mendapatkan seorang Dini. Populer tapi tetap rendah hati, tegar,
bijaksana, wara’, zuhud, qanita, qanaah…Pokoknya semua sifat baik ada
padanya. Sedangkan aku, semoga aku nggak akan menyakiti akhwat lain
setelah ini.”
Astaghfirullahaladzim…, apa yang telah kusombongkan selama ini? Sudah ikut mulazamah
(berguru dengan ustadz) bertahun-tahun tapi masih belum berani
mengamalkan ilmu yang kudapat sedikit pun. Katanya percaya bahwa orang
yang menikah pasti akan dijamin rezekinya oleh Allah, ternyata aku nggak
lebih hanya seorang ikhwan pengecut.
Dana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Dia benar-benar merasa tak berarti.
“Dulu…., aku pernah begitu khusyu’ berdoa pada Allah agar
dipertemukan dengan akhwat shalihah yang nggak banyak permintaan seperti
dia. Sekarang ketika sudah dapat, malah kusia-siakan. Kini aku sadar
bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan hamba-Nya. Manusialah yang
selalu kufur terhadap rabb-nya.”
Di tempat yang berbeda, Dini menjalani hari-harinya dengan
penuh semangat. Dia tetap ceria seperti biasanya. Ya…, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa. Kecewa? Jelas ada, karena dini juga hanya
manusia biasa. Namun dia bisa mengemas kekecewaannya dengan manis,
membuat kesedihannya menjadi sesuatu yang lumrah dari proses kehidupan.
Dia percaya bahwa hatinya tidak mungkin berbohong dan janji
Allah pasti terjadi. Maka sesulit apapun kondisi yang dihadapi saat
itu, dia mencoba untuk tetap tersenyum. Jujur, aku bangga padanya.
“Aku sudah mantap dengannya, kak. Aku yakin dialah jodohku. Aku akan terus menunggunya…”
Sepekan kemudian, Dana menitipkan biodata ikhwan lain yang merupakan teman dekatnya untuk diberikan pada Dini. Menurutnya, Ikhwan itu bisa membahagiakan Dini karena sudah matang dan punya pekerjaan tetap. Jelas, Aku Tahu bahwa pendapatnya keliru.
Dini bukan mengharap ikhwan yang matang dan mapan.
Dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Diniku tidak akan bahagia hanya
dengan harta dan tahta. Namun, tak urung diterima juga biodata itu. Dan
bisa ditebak, bagaimana reaksi Dini saat kuberikan empat lembar kertas
berukuran A4 itu. Dini menggelang pasti.
“Anti coba istikharah-kan dulu. Barangkali semuanya bisa berubah…,” bujukku.
“Jazakumullah khair, tapi…Afwan tolong jangan paksa Ana, Kak!”
***Cacatan redaksi
Ikhwan fillah, mungkin sebagian Anda akan
menganggap Dana sebagaimana penilaian Dana terhadap dirinya sendiri.
Pengecut, jahil, dan sifat-sifat buruk yang lainnya. Tapi bagi saya,
Dana tidaklah seburuk itu, justru sebaliknya, Dana dalam pandangan saya
adalah ikhwan yang baik.
Dia berani mengambil resiko dengan mundur dari proses dan
memilih untuk bersabar melawan nafsunya. Padahal kalau dia mau, dengan
sikap Dini yang penurut, dia bisa minta untuk tetap meneruskan hubungan
dengan gadis pilihannya itu. Namun dia tahu bahwa di atas segalanya,
Allah-lah yang patut utnuk lebih dicintai.
Dana yakin bahwa jodoh adalah kekuasaan Allah dan Dia tetah
menetapkannya 50 ribu tahun sebelum semesta ada. Dia tahu kalau jodoh
pasti akan ketemu lagi, bagaimanapun caranya. Mungkin Dini tidak akan
pernah tahu kalau biodata yang kusodorkan kemarin adalah kiriman Dana.
Mungkin Dana juga tidak akan pernah tahu kalau ternyata
Dini akan terus menunggunya. Dan mereka juga tidak boleh tahu bahwa
diam-diam aku selalu mendoakan kebaikan untuk mereka. Entah bagaimana ending kisahini nantinya, yang pasti aku selalu berharap agar masing-masing dari mereka mendapatkan ganti yang lebih baik. Segera…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar