28 Des 2013

Duhai Waktu… Bisakah Kau Tunggu Aku?

Menikmati mentari terbenam dan terbit setiap pagi-senja selalu saja ada warna pelangi di kanvas kehidupan yang terlewat. Semua menjadi kenangan. Menjadi cerita. Juga penyesalan. Aku tidak menyukai itu tapi kita tentu akan menyesal di Hari akhir nanti, karena kita tidak mampu melakukan hal lebih untuk diri kita esok hari.  Bahkan jika kita berusaha sebaik mungkin mempersiapkan diri kita untuk pertemuan dengan-Nya, kita tetap saja menyesal. Sebab kita benar – benar akan terperangah melihat kegoncangan hari akhir, lalu nanti kita akan menggerutu pada diri kita sendiri dan berkata “Seandainya… seandainya.. seandainya…”
Jarum – jarum detik itu telah memenggal hari-hari kita. Menebas batang leher hidup kita.  Aku gemas melihatnya terus bergerak dan menimbulkan kehororan dari suaranya. Seolah dia mengejar kita perlahan. Menyayat-nyayat kenikmatan waktu luang yang kita sia – siakan. Itu menyakitkan jika kita benar – benar merasakannya. Salah seorang sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, Abdullah bin Mas’ud, berkata “Tidak ada sesuatu yang sangat aku sesali melebihi penyesalanku terhadap hari di mana matahari terbit dan ajalku semakin dekat tetapi amalku tidak bertambah”. Aku tidak mengajakmu untuk berkarib dengan penyesalan, hanya saja kita butuh belajar darinya.
Sahabat, waktu adalah investasi kita. Kita bisa saja kaya mendadak dengan itu atau pailit seketika. Semua tergantung bagaimana kita mengelola investasi itu dengan baik. Waktu bisa menjadi anugrah atau bencana. Aku katakan sekali lagi semua tergantung bagaimana kita mengelolanya dengan baik.
Jujur, berkali – kali kukatakan pada diriku sendiri bahwa waktu adalah bagian terpenting dalam hidup ini. Berkali – kali pula aku meminta diri ini untuk berhenti membuatnya menyakiti diriku sendiri dengan mencemooh waktu – waktu yang melaju pasti. Entah ini keberuntungan atau malapetaka kita dianugrahi sifat lupa yang membuat kita tenang sementara dari lajunya waktu yang perlahan namun tegas.
Bayangkan! Kita hidup di dunia hanya 20 tahun. Itu kita hitung kasarnya. Dan kupikir itu waktu produktif maksimal rata – rata manusia. Aku tidak mengatakan bahwa waktu hidup kita hanya 20 tahun, kawan,  tidak! Waktu hidup kita memang 60 atau 70 atau lebih sedikit dari itu, dan bisa saja kurang sangat banyak dari itu hanya Allahlah yang tahu. Tapi siapa yang menyangka jika kita menggunakan perhitungan matematika dengan benar kita akan mendapati kita sesungguhnya benar – benar hidup hanya dalam 20 tahun.
Kau tahu?  sepertiga dari hidup kita kita gunakan untuk tidur. Kita mempergunakan hidup kita untuk makan dan minum sekitar 2 tahun, itu belum termasuk keperluan mendesak lainnya. Dan dalam waktu 20 tahun waktu produktif itu setengahnya mungkin kita sia – siakan untuk hal yang tidak bermanfaat, kawan! Bayangkan berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk bercanda, berbincang dengan teman, nonton tv yang berjam – jam setiap hari, juga bermalas – malasan.
Berapa waktu lagi yang kita punya untuk hidup? Bisa – bisa saat amal kita diperlihatkan di akhirat nanti kita hanya mempergunakan waktu kita sekitar 5 tahun dari 60 tahun kita hidup di dunia untuk melakukan amalan baik. Atau bahkan, bisa kurang dari itu! Masya Allah… masihkah kita berniat menyia – nyiakan waktu kita jika kita tahu bahwa sebenarnya jatah hidup produktif kita tidak lebih dari seperenam dari hidup kita? Masih?! Ah… aku tidak berani mengatakannya, tapi itu berarti kita sudah keluar dari kewarasan.
Aku selalu begidik mendengar kata kematian. Seolah – olah ia sudah berada di belakangku. Tiba – tiba  mencabut nyawaku. Aku was – was. Kematian adalah puncak dari segala rasa sakit. Dan kematian mungkin awal dari penyasalan. Dan yang pertama kali kita sesalkan adalah waktu. Dan mungkin yang pertama kali kita minta ketika kematian itu hadir adalah waktu. Waktu begitu berharga, tapi jiwaku tetap saja lalai! Ah! Aku benar – benar geram.
Aku ingat saat aku masih terlelap dan Allah membangunkanku di sepertiga malam terakhir. Allah memberikanku kesempatan untuk bermunajat padanya saat itu, lantas apa yang aku lakukan? Aku berkata pada diriku “Undur sebentar lagi, waktu masih sangat panjang.” Akhirnya, kau pasti pandai menebak akhir jalan ceritanya.
Sesal… Sesal… Sesal… dan Sesal… hidupku dipenuhi dengan sesal. Untungnya Allah menyediakan jalan bagi orang yang penuh sesal seperti diriku. Allah menyediakan ampunan bagi mereka yang menyesal dan memohon ampun. Hah! Jika saja Allah tidak memberikanku kesempatan untuk bersitigfar setiap aku menyesal habislah diriku.
Sahabat, aku menyayangimu, aku tidak ingin kau seperti diriku yang terus menyesali diriku karena waktuku terbuang percuma tanpa arti. Hentikan tentang main – main itu, masa kita untuk santai – santa sudah lenyap. Berapa umur kita sekarang? 15, 16, 17, 20?  Tunggu berapa tahun lagi untuk kita mempergunakan waktu yang sempit ini. Siapa yang mampu menebak waktu kita akan sampai pada usia senja?
Sahabat, tidak! Benar – benar tidak jika kita katakan bahwa selama kita masih muda pergunakan waktu ini untuk bersenang – senang. Lalu, apakah kita rela menunggu masa tua renta kita untuk beramal? Beramal tanpa semangat? Beramal dengan kaki tertatih – tatih dan badan berbungkuk lesu? Ah… Mimpi Buruk!
Aku mengerti, angan – angan kosong itu memabukkan kita. Candu untuk hati yang sakit. Ia membuat kita tenang, damai, dan tentram sesaat. Bisikan – bisikan iblis itu meninabobokan kita. Membuat kita terlena. Lalu terlelap hingga kematian yang akan membangunkan kita. Dan itulah senjata iblis. Senapan terbaiknya untuk menawan kita. Diantara orang salaf ada yang berkata “Aku memperingatkan kalian tentang berandai – andai, karena berandai – andai itu merupakan pasukan iblis yang paling besar.” Aku harap kau lebih memilih melawan kendati ditawan, sobat.
Jika kita benar – benar ingin terlepas dari jeratan iblis yang jijik dan lengket itu kita harus bertindak berdasarkan semangat. Sebab semangat adalah perputaran waktu dan mengenyahkan angan – angan. Orang yang takut tidak akan merasa aman dan apa yang sudah berlalu tidak akan kembali lagi. Begitulah ungkapan Ibnul Jauzi, ulama abad 5 hijriah dalam bukunya Talbis Iblis.
Berhati – hatilah, kawan, jagalah waktu – waktu kita. Karena ia tidak akan pernah kembali, tidak  akan pernah bisa dibeli…
Apakah kita harus merasa waspada setiap saat? Seharusnyaa begitu! Aku berpikir bahwa itu justru membuatku merasa tidak damai. Tapi inilah hidup, kawan! Orang bijak mengatakan jika kita ingin beristirahat kita tidak bisa bersantai – santai. Kebahagian hanya didapatkan dengan pengorbanan. Dan pengorbanan itu sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar